Rabu, 02 Februari 2011

Sejarah Istana-istana Presiden Indonesia/History of Indonesian Presidential palaces

Tahukah anda bahwa Indonesia memiliki banyak Istana Kepresidenan?? kalau belum tau anda beruntung telah membuka posting ini, karena kali ini saya akan berbagi tentang sejarah Istana Kepresidenan Indonesia. Langsung saja kita mulai :

1. Istana Negara

Istana Negara dibangun tahun 1796 untuk kediaman pribadi seorang warga negara Belanda J.A van Braam. Pada tahun 1816 bangunan ini diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda dan digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta kediaman para Gubernur Jendral Belanda. Karenanya pada masa itu istana ini disebut juga sebagai Hotel Gubernur Jendral.

Pada mulanya bangunan yang berarsitektur gaya Yunani kuno itu bertingkat dua, namun pada tahun 1848 bagian atasnya dibongkar, dan bagian depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk bangunan hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang, tanpa perubahan yang berarti. Luas bangunan ini lebih kurang 3.375 meter persegi.
Sesuai dengan fungsi istana ini, pajangan serta hiasannya cenderung memberi suasana sangat resmi. Bahkan kharismatik. Ada dua buah cermin besar peninggalan pemerintah Belanda, disamping hiasan dinding karya pelukis - pelukis besar, seperti Basoeki Abdoellah.
Banyak peristiwa penting yang terjadi di Istana Negara. Diantaranya ialah ketika Jendral de Kock menguraikan rencananya kepada Gubernur Jendral Baron van der Capellen untuk menindas pemberontakan Pangeran Diponegoro dan merumuskan strateginya dalam menghadapi Tuanku Imam Bonjol. Juga saat Gubernur Jendral Johannes van de Bosch menetapkan sistem tanam paksa atau cultuur stelsel. Setelah kemerdekaan, tanggal 25 Maret 1947, di gedung ini terjadi penandatanganan naskah persetujuan Linggarjati. Pihak Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir dan pihak Belanda oleh Dr. Van Mook.
Istana Negara berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, diantaranya menjadi tempat penyelenggaraan acara - acara yang bersifat kenegaraan, seperti pelantikan pejabat - pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah, dan rapat kerja nasional, pembukaan kongres bersifat nasional dan internasioal, dan tempat jamuan kenegaraan.
Sejak masa pemerintahan Belanda dan Jepang sampai masa pemerintahan Republik Indonesia, sudah lebih kurang 20 kepala pemerintahan dan kepala negara yang menggunakan Istana Negara sebagai kediaman resmi dan pusat kegiatan pemerintahan Negara.

2. Istana Merdeka


Istana Merdeka mulai dibangun pada tahun 1873 pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Louden dan selesai pada tahun 1879 pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Johan Willem van Landsbarge. Bangunan ini berdiri di atas tanah seluas 2.400 meter persegi, oleh arsitek Drossares. Istana Negara juga dikenal dengan nama Istana Gambir.
Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, istana ini menjadi saksi sejarah dilakukannya penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Republik Indonesia Serikat diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan Kerajaan Belanda diwakili oleh A.H.J Lovink, Wakil Tinggi Mahkota di Indonesia.
Setelah penandatanganan naskah kedaulatan Republik Indonesia Serikat, bendera merah putih dikibarkan menggantikan bendera Belanda, bersamaan dengan dinyanyikannya lagu Indonesia Raya dan pekik merdeka oleh bangsa Indonesia. Sejak saat itu nama Istana Gambir diganti menjadi Istana Merdeka.

3. Istana Bogor

Berawal dari keinginan orang - orang Belanda yang bekerja di Batavia ( kini Jakarta ) untuk mencari tempat peristirahatan. Karena mereka beranggapan bahwa kota Batavia terlalu panas dan ramai, sehingga mereka perlu mencari tempat - tempat yang berhawa sejuk di luar kota Batavia.
Gubernur Jendral Belanda bernama G.W. Baron van Imhoff, ikut melakukan pencarian itu dan berhasil menemukan sebuah tempat yang baik dan strategis di sebuah kampung yang bernama Kampong Baroe, pada tanggal 10 Agustus 1744.
Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1745 Gubernur Jendral van Imhoff ( 1745 - 1750 ) memerintahkan pembangunan atas tempat pilihannya itu sebuah pesanggrahan yang diberi nama Buitenzorg, ( artinya bebas masalah / kesulitan ). Dia sendiri yang membuat sketsa bangunannya dengan mencontoh arsitektur Blenheim Palace, kediaman Duke of Malborough, dekat kota Oxford di Inggris. Proses pembangunan gedung itu dilanjutkan oleh Gubernur Jendral yang memerintah selanjutnya yaitu Gubernur Jendral Jacob Mossel yang masa dinasnya 1750 - 1761
Dalam perjalanan sejarahnya, bangunan ini sempat mengalami rusak berat sebagai akibat serangan rakyat Banten yang anti Kompeni, di bawah pimpinan Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang, yang disebut Perang Banten 1750 - 1754.
Pada masa Gubernur Jendral Willem Daendels ( 1808 - 1811 ), pesanggrahan tersebut diperluas dengan memberikan penambahan baik ke sebelah kiri gedung maupun sebelah kanannya. Gedung induknya dijadikan dua tingkat. Halamannya yang luas juga dipercantik dengan mendatangkan enam pasang rusa tutul dari perbatasan India dan Nepal.
Kemudian pada masa pemerintahan Gubernur Jendal Baron van der Capellen ( 1817 - 1826 ), dilakukan perubahan besar - besaran. Sebuah menara di tengah - tengah gedung induk didirikan sehingga istana semakin megah, Sedangkan lahan di sekeliling istana dijadikan Kebun Raya yang peresmiannya dilakukan pada tanggal 18 Mei 1817.
Gedung ini kembali mengalami kerusakan berat, ketika terjadi gempa bumi yang pada tanggal 10 oktober 1834.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Albertus Yacob Duijmayer van Twist ( 1851 - 1856 ), bangunan lama sisa gempa dirubuhkan sama sekali. Kemudian dengan mengambil arsitektur eropa Abad IX, bangunan baru satu tingkat didirikan. Perubahan lainnya adalah dengan menambah dua buah jembatan penghubung Gedung Induk dan Gedung Sayap Kanan serta Sayap Kiri yang dibuat dari kayu berbentuk lengkung. Bangunan istana baru terwujud secara utuh pada masa kekuasaan Gubernur Jendral Charles Ferdinand Pahud de Montager ( 1856 - 1861 ). Dan pada pemerintahan, selanjutnya tepatnya tahun 1870, Istana Buitenzorg ditetapkan sebagai kediaman resmi para Gubernur Jendral Belanda.
Akhir perang dunia II, Jepang menyerah kepada tentara Sekutu, kemudian Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Barisan Keamanan Rakyat ( BKR ) sempat menduduki Istana Buitenzorg untuk mengibarkan bendera merah putih. Istana Buitenzourg yang namanya kini menjadi Istana Kepresidenan Bogor diserahkan kembali kepada pemerintah republik ini pada akhir tahun 1949. Setelah masa kemerdekaan , Istana Kepresidenan Bogor mulai dipakai oleh pemerintah Indonesia pada bulan Januari 1950.
Kepustakaan dan Benda Seni
Istana Kepresidenan Bogor mempunyai koleksi buku sebanyak 3.205 buah yang daftarnya tersedia di kepustakaan istana. Istana ini menyimpan banyak benda seni, baik yang berupa lukisan, patung, serta keramik dan benda seni lainnya. Hingga kini lukisan yang terdapat di istana ini adalah 448 buah, dimana judul/nama lukisan itu, pelukisnya, tahun dilukisnya, tersedia dalam bentuk daftar sehingga memudahkan siapa saja yang ingin memperoleh informasi tentang lukisan tersebut. Begitu pula halnya dengan patung dengan aneka bahan bakunya. Di istana ini terdapat patung sebanyak 216 buah.
Di samping lukisan dan patung, Istana Bogor juga mengoleksi keramik sebanyak 196 buah. Semua itu tersimpan di museum istana, di samping yang dipakai sebagai pemajang di setiap ruang/bangunan istana.

4. Istana Cipanas

Kata cipanas berasal dari bahasa Sunda; ci atau cai artinya air, dan panas yaitu panas dalam bahasa Indonesia. Kata tersebut menjadi nama sebuah desa, yakni Desa Cipanas karena di tempat ini terdapat sumber air panas yang mengandung belerang.
Istana Kepresidenan Cipanas bermula dari sebuah bangunan yang didirikan pada tahun 1740 oleh pemiliknya pribadi, seorang tuan tanah Belanda bernama Van Heots. Namun pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, tepatnya mulai pemerintahan Gubernur Jenderal G.W. Baron van Imhoff (1743), karena daya tarik sumber air panasnya, dibangun sebuah gedung kesehatan di sekitar sumber air panas tersebut. Kemudian, karena kharisma udara pegunungan yang sejuk serta alamnya yang bersih dan segar, bangunan itu sempat dijadikan tempat peristirahatan para Gubernur Jenderal Belanda.
Sejak didirikannya pada masa pemerintahan Belanda, Istana Kepresidenan Cipanas difungsikan sebagai tempat peristirahatan dan persinggahan. Akan tetapi sekeliling alamnya yang amat indah menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjungnya, sehingga pada masa pemerintahan van Imhoff itu, tempat persinggahan/peristirahatan sempat beralih fungsi. Karena kekuatan sumber air panas yang mengandung belerang itu dan karena udara pegunungan yang sejuk dan bersih, tempat ini pernah dijadikan gedung pengobatan bagi anggota militer Kompeni yang perlu mendapat perawatan.
Komisaris Jenderal Leonard Pietr Josef du Bus de Gisignies, misalnya, tercatat yang paling senang mandi air belerang itu. Demikian pula halnya dengan Carel Sirardus Willem Graaf van Hogendorp, sekretarisnya (1820-1841). Selain itu Herman Willem Daendeles (1808-1811) dan Thomas Stanford Raffles (1811-1816) pada masa dinasnya menempatkan beberapa ratus orang di tempat tersebut; sebagian basar dari mereka bekerja di kebun apel dan kebun bunga serta di penggilingan padi, di samping yang mengurus sapi, biri - biri, dan kuda.
Secara fisik, sejak berdirinya hingga kini, perjalanan riwayat Istana Cipanas banyak berubah. Secara bertahap, dari tahun ke tahun, istana ini bertambah dan bertambah. Mulai dari tahun 1916, masih pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, tiga buah bangunan berdiri di dalam kompleks istana ini. Kini ketiganya dikenal dengan nama Paviliun Yudhistira, Paviliun Bima, dan Paviliun Arjuna.
Sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1954 di masa dinas Presiden I Republik Indonesia, Soekarno, didirikan sebuah bangunan mungil, terletak di sebelah belakang Gedung Induk. Berbeda dari gedung-gedung lainnya, sekeliling dinding tembok luar serta pelataran depan dan samping bangunan ini berhiaskan batu berbentuk bentol. Dengan mengambil bentuk hiasan tembok serta pelatarannya itulah, nama gedung ini terdengar unik, yaitu Gedung Bentol. (Bentol dari bahasa sunda; padanannya dalam bahasa Indonesia bentol juga, seperti bekas gigitan nyamuk).
Dua puluh sembilan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1983, semasa Presiden II Republik Indonesia, Soeharto, dua buah paviliun lainnya menyusul berdiri, yaitu Paviliun Nakula dan Paviliun Sadewa.
Istana Kepresidenan Cipans juga pernah difungsikan sebagai tempat tinggal keluarga oleh beberapa keluarga Gubernur Jenderal Belanda. Yang pernah menghuni bangunan itu adalah keluarga Andrias Cornelis de Graaf (yang masa pemerintahannya 1926 -1931), Bonifacius Cornelius de Jonge (1931), dan yang terakhir, yang bersamaan dengan datangnya masa pendudukan Jepang (1942), adalah Tjarda van Starkenborg Stachourwer.
Setelah kemerdekaan Indonesia, secara resmi gedung tersebut ditetapkan sebagai salah satu Istana Kepresidenan Republik Indonesia dan fungsinya tetap digunakan sebagai tempat peristirahatan Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia beserta keluarganya.
Istana Kepresidenan Cipanas ini juga mencatat peristiwa penting dalam sejarah garis haluan perekonomian Indonesia, yaitu bahwa pada tanggal 13 Desember 1965, Ruang Makan Gedung Induk, pernah difungsikan sebagai tempat kabinet bersidang dalam rangka penetapan perubahan nilai uang dari Rp1.000,00 menjadi Rp1,00, tepatnya pada masa Presiden Republik Indonesia Soekarno dan pada waktu Menteri Keuangan dijabat oleh Frans Seda.
Sesuai dengan fungsi Istana Kepresidenan Cipanas, tidak digunakan untuk menerima tamu negara. Namun, pada tahun 1971, Ratu Yuliana pun meluangkan waktunya untuk singgah di istana ini ketika berkunjung ke Indonesia.

5. Gedung Agung Yogyakarta

Istana kepresidenan Yogyakarta awalnya adalah rumah kediaman resmi residen Ke-18 di Yogyakarta (1823-1825). Ia seorang Belanda bernama Anthonie Hendriks Smissaert, yang sekaligus merupakan penggagas atau pemrakarsa pembangunan Gedung Agung ini. Gedung ini didirikan pada bulan Mei 1824 di masa penjajahan Belanda. Ini berawal dari keinginan adanya "istana" yang berwibawa bagi residen-residen Belanda. Arsiteknya bernama A. Payen; dia ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa itu. Gaya bangunannya mengikuti arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis.
Pecahnya Perang Diponogero (1825-1830), yang oleh Belanda disebut Perang Jawa, mengakibatkan pembangunan gedung jadi tertunda. Musibah / gempa bumi terjadi dua kali pada hari yang sama, menyebabkan tempat kediaman resmi residen Belanda itu runtuh. Namun bangunan baru didirikan dan rampung pada tahun 1869. Bangunan inilah yang menjadi Gedung Induk Kompleks Istana Kepresidenan Yogyakarta, yang kini disebut Gedung Negara.
Sejarah juga mencatat bahwa pada tanggal 19 Desember 1927, status administratif wilayah Yogyakarta sebagai karesidenan ditingkatkan menjadi provinsi. Penguasa tertinggi Belanda bukan lagi residen, melainkan gubernur. Dengan demikian, gedung utama yang selesai dibangun pada 1869 tersebut menjadi kediaman para gubernur Belanda di Yogyakarta hingga masuknya pendudukan Jepang. Beberapa Gubernur Belanda yang mendiami gedung tersebut adalah J.E Jasper (1926-1927), P.R.W van Gesseler Verschuur (1929-1932), H.M de Kock (1932-1935), J. Bijlevel (1935-1940), serta L Adam (1940-1942). Pada masa pendudukan Jepang, istana ini menjadi kediaman resmi penguasa Jepang di Yogyakarta, yaitu Koochi Zimmukyoku Tyookan.
Riwayat Gedung Agung itu menjadi sangat penting dan sangat berarti tatkala pemerintahan Republik Indonesia hijrah dari Jakarta ke Yogyakarta. Pada tanggal 6 Januari 1946, Yogyakarta yang mendapat julukan Kota Gudeg tersebut resmi menjadi ibukota baru Republik Indonesia yang masih muda, dan istana itu pun berubah menjadi Istana Kepresidenan sebagai kediaman Presiden Soekarno, Presiden I Republik Indonesia, beserta keluarganya. Sementara Wakil Presiden Mohammad Hatta dan keluarga ketika itu tinggal di gedung yang sekarang ditempati Korem 072 / Pamungkas, yang tidak jauh dari kompleks istana.
Sejak itu, riwayat istana (terutama fungsi dan perannya) berubah. Pelantikan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar TNI (pada tanggal 3 Juni 1947), diikuti pelantikan sebagai Pucuk Pimpinan Angkatan Perang Republik Indonesia (pada tanggal 3 Juli 1947), serta lima Kabinet Rebulik yang masih muda itu pun dibentuk dan dilantik di Istana ini pula.
Pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948, Yogyakarta digempur oleh tentara Belanda di bawah kepemimpinan Jenderal Spoor. Peristiwa yang dikenal dengan Agresi Militer II itu mengakibatkan Presiden, Wakil Presiden, Perdana Menteri, beserta beberapa pembesar lainnya diasingkan ke luar Pulau Jawa, tepatnya ke Brastagi dan Bangka, dan baru kembali ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949. Mulai tanggal tersebut, istana kembali berfungsi sebagai tempat kediaman resmi Presiden. Namun, sejak tanggal 28 Desember 1949, yaitu dengan berpindahnya Presiden ke Jakarta, istana ini tidak lagi menjadi kediaman Presiden.
Sebuah peristiwa sejarah yang tidak dapat diabaikan adalah fungsi Gedung Agung pada awalnya berdirinya Republik Indonesia (tanggal 3 Juni 1947). Pada saat itu Gedung Agung berfungsi sebagai tempat pelantikan Jenderal Soedirman, selaku Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI). Selain itu, selama tiga tahun (1946-1949), gedung ini berfungsi sebagai tempat kediaman resmi Presiden I Republik Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada masa dinas Presiden II RI, sejak tanggal 17 April 1988, Istana Kepresidenan Yogyakarta/Gedung Agung juga digunakan untuk penyelenggaraan Upacara Taruna-taruna Akabri Udara yang Baru, dan sekaligus Acara Perpisahan Para Perwira Muda yang Baru Lulus dengan Gubernur dan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan, sejak tanggal 17 Agustus 1991, secara resmi Istana Kepresidenan Yogyakarta / Gedung Agung digunakan sebagai tempat memperingati Detik-Detik Proklamasi untuk Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejalan dengan fungsinya kini, lebih dari 65 kepala negara dan kepala pemerintahan dan tamu-tamu negara, telah berkunjung atau bermalam di Gedung Agung itu. Tamu negara yang pertama berkunjung ke gedung itu adalah Presiden Rajendra Prasad dari India (1958). Pada tahun enam puluhan, Raja Bhumibol Adulyajed dari Muangthai (1960) dan Presiden Ayub Khan dari Pakistan (1960) berkunjung dan bermalam di gedung ini. Setahun kemudian (1961), tamu negara itu adalah Perdana Menteri Ferhart Abbas dari Aljazair. Pada tahun tujuh puluhan, yang berkunjung adalah Presiden D. Macapagal dari Filipina (1971), Ratu Elizabeth II dari Inggris (1974), serta Perdana Menteri Srimavo Bandaranaike dari Sri Langka (1976).
Kemudian, pada tahun delapan puluhan, tamu negara itu adalah Perdana Menteri Lee Kuan Yeuw dari Singapura (1980), Yang Dipertuan Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam (1984). Tamu-tamu penting lain yang pernah beristirahat di Gedung Agung, antara lain, Putri Sirindhom dari Muanghthai (1984), Ny. Marlin Quayle, Isteri Wakil Presiden Amerika Serikat (1984), Presiden F. Mitterand dari Perancis (1988), Pangeran Charles bersama Putri Diana dari Inggris (1989), dan Kepala Gereja Katolik Paus Paulus Johannes II (1989).
Pada tahun sembilan puluhan, para tamu agung yang berkunjung ke Gedung Agung itu adalah Yang Dipertuan Agung Sultan Azlan Shah dari Malaysia (1990), Kaisar Akihito Jepang (1991), dan Putri Basma dari Yordania (1996).

6. Istana tampak Siring

Nama Tampaksiring diambil dari dua buah kata bahasa Bali, yaitu tampak (yang bermakna 'telapak ') dan siring (yang bermakna 'miring'). Menurut sebuah legenda yang terekam pada daun lontar Usana Bali, nama itu berasal dari bekas telapak kaki seorang Raja yang bernama Mayadenawa. Raja ini pandai dan sakti, tetapi bersifat angkara murka. Ia menganggap dirinya dewa serta menyuruh rakyatnya menyembahnya. Sebagai akibat dari tabiat Mayadenawa itu, Batara Indra marah dan mengirimkan balatentaranya untuk menghacurkannya. Namun, Mayadenawa berlari masuk hutan. Agar para pengejarnya kehilangan jejak, ia berjalan dengan memiringkan telapak kakinya. Dengan begitu ia berharap agar para pengejarnya tidak mengenali bahwa jejak yang ditinggalkannya itu adalah jejak manusia, yaitu jejak Mayadenawa.
Usaha Mayadenawa gagal. Akhirnya ia ditangkap oleh para pengejarnya. Namun, sebelum itu, dengan sisa-sisa kesaktiannya ia berhasil menciptakan mata air beracun yang menyebabkan banyak kematian bagi para pengejarnya setelah mereka meminum air dari mata air ciptannya itu. Batara Indra pun menciptakan mata air yang lain sebagai penawar air beracun tersebut. Air Penawar racun itu diberi nama Tirta Empul (yang bermakna 'airsuci'). Kawasan hutan yang dilalui Raja Mayadenawa denagn berjalan di atas kakinya yang dimiringkan itulah wilayah ini dikenal dengan nama Tampaksiring.
Menurut riwayatnya, disalah satu sudut kawasan Istana Tampaksiring, menghadap kolam Tirta Empul di kaki bukit, dulu pernah ada bangunan peristirahatan milik Kerajaan Gianyar. Di atas lahan itulah sekarang berdiri Wisma Merdeka , yaitu bagian dari Istana Tampaksiring yang pertama kali dibangun. 
Istana Kepresidenan Tampaksiring berdiri atas prakarsa Presiden I Republik Indonesia, Soekarno, sehingga dapat dikatakan Istana Kepresidenan Tampaksiring merupakan satu-satunya istana yang dibangun pada masa pemerintahan Indonesia.
Pembangunan istana dimulai taun 1957 hingga tahun 1960. Namun, dalam rangka menyongsong kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN XIV (ASEAN Summit XIV) yang diselenggarakan pada tanggal 7-8 Oktober 2003, Istana Tampaksiring menambahkan bangunan baru berikut fasilitas - fasilitasnya, yaitu gedung untuk Konferensi dan untuk resepsi. Selain itu, istana juga merenovasi Balai Wantilan sebagai gedung pagelaran kesenian.
Istana Kepresidenan Tampaksiring dibangun secara bertahap. Arsiteknya ialah R.M Soedarsono. Yang pertama kali dibangun adalah Wisma Merdeka dan Wisma Yudhistira, yakni pada tahun 1957. Pembangunan berikutnya dilaksanakan tahun 1958, dan semua bangunan selesai pada tahun 1963. Selanjutnya, untuk kepentingan kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN XIV, yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 7-8 Oktober 2003, Istana dibangun gedung baru untuk Konferensi beserta fasilitas-fasilitasnya dan merenovasi Balai Wantilan. Kini Tampaksiring juga memberikan kenyamanan kepada pengunjungnya (dalam rangka kepariwisataan) dengan membangun pintu masuk tersendiri yang dilengkapi dengan Candi Bentar, Koro Agung, serta Lapangan Parkir berikut Balai Bengongnya.
Sejak dirancangnya / direncanakan, pembangunan Istana Kepresidenan Tampaksiring difungsikan untuk tempat peristirahatan bagi Presiden Republik Indonesia beserta keluarga dan bagi tamu-tamu negara. Usai pembangunan istana ini, yang pertama berkunjung dan bermalam di istana adalah pemrakarsanya, yaitu Presiden Soekarno. Tamu Negara yang bertama kali menginap di istana ini ialah Raja Bhumibol Adulyadej dari Thailand, yang berkunjung ke Indonesia bersama permaisurinya, Ratu Sirikit (pada tahun 1957).
Menurut catatan, tamu-tamu negara yang pernah berkunjung ke Istana Kepresidenan Tampaksiring, antara lain adalah Presiden Ne Win dari Birma ( sekarang Myanmar), Presiden Tito dari Yugoslavia, Presiden Ho Chi Minh dari Vietnam, Perdana Menteri Nehru dari India, Perdana Menteri Khruchev dari Uni Soviet, Ratu Juliana dari Negeri Belanda, dan Kaisar Hirihito dari Jepang.
Semoga Informasi tadi bisa bermanfaat bagi anda. Pesan saya satu yaitu Jas Merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah) kata bung karno.
translate to english
Did you know that Indonesia has many of the Presidential Palace? do not know if you are lucky to have opened this post, because this time I will share about the history of theIndonesian Presidential Palace. Immediately, we begin:
1. Istana Negara
State Palace was built in 1796 for a private residence of a Dutch citizen JA van Braam.In 1816 this building was taken over by the Dutch East Indies government and used as a center of government and residence of the Governor-General of the Netherlands.Therefore in those days the palace is also known as Hotel Governor-General.
At first, the architecture building ancient Greek style two-story, but in 1848 the top dismantled, and the front downstairs made larger to give the impression more formally.Building form is the result of changes in 1848 which survived until now, without any meaningful change. Building area is approximately 3375 square meters.
In accordance with the function of this court, ornaments and decorations tend to give the atmosphere is very formal. Even the charismatic. There were two big mirrors the Dutch government heritage, as well as wall hangings painters - painters, such as Basoeki Abdoellah.
Many important events that occurred at the State Palace. Among them was when General de Kock describes his plan to the Governor-General Baron van der Capellen to suppress the rebellion of Prince Diponegoro and formulate its strategy in the face of Tuanku Imam Bonjol. Also, when Governor-General Johannes van den Bosch set the cropping system of forced or cultuur stelsel. After independence, dated March 25, 1947, at the signing of this building occurred Linggadjati. Indonesia party represented by Sutan Sjahrir and the Netherlands by Dr. Van Mook.
State Palace serves as a center of state government, including the place of the event -the event which is a state, such as the inauguration of officers - senior state officials, the opening of deliberation, and a national working meeting, the opening of national and the international congresses, and a state banquet.
Since the reign of the Netherlands and Japan until the reign of the Republic of Indonesia, has more than 20 heads of state and heads of state who use the Presidential Palace as the official residence and the center of the state government.

2. Istana Merdeka
Merdeka Palace was built in 1873 during the reign of Governor-General Louden andcompleted in 1879 during the reign of Governor-General Johan Willem van Landsbarge.This building stands on land area of 2400 square meters, by the architect Drossares.State Palace also known as the Palace of Gambir
.
In the early days of government of the Republic of Indonesia, this palace to witness the signing of history does the recognition of sovereignty of the United States of Indonesiaby the Dutch Government on December 27, 1949. United States of Indonesia was represented by Sri Sultan Hamengkubuwono IX, while the Kingdom of the Netherlandsis represented by the AHJ Lovink, High Representative of the Crown in Indonesia.

After the signing of the sovereignty of the Republic of Indonesia States, red and white flag was raised to replace the flag of the Netherlands, along with Indonesia Raya songssung and shouted independence by the nation of Indonesia. Since then the name was changed to Gambir Palace Palace.

3. Istana Bogor

Starting from the desire of people - the Dutch people who work in Batavia (now Jakarta) to look for a resort. Because they assume that the city of Batavia is too hot and crowded, so they need to find a place - where the cool air outside the city of Batavia.
Governor-General of the Netherlands named G.W. Baron van Imhoff, go do a search and managed to find a good place and strategically in a village called Kampong Baroe, on August 10, 1744.
A year later, in 1745 the Governor-General van Imhoff (1745-1750) ordered the construction of the place of choice was a rest house named Buitenzorg, (meaning free of problems / difficulties). He alone who made sketches of the building with architecture modeled on Blenheim Palace, the residence of the Duke of Malborough, near the city of Oxford in England. The development process building was followed by the Governor-General who ruled further that the Governor-General Jacob Mossel that his service period 1750 - 1761
In the course of its history, this building was heavily damaged as a result of attacks Banten people who are against the Company, under the leadership of Kiai Tapa and Ratu Bagus Exhaust, called Banten War from 1750 to 1754.
During the Governor-General Willem Daendels (1808 - 1811), rest house was expanded by providing additional well to the left of the building as well as his right. The building used as a two-level parent. Spacious yard is also enhanced by bringing in six pairs of spotted deer from India and Nepal border.
Later in the reign of Governor Jendal Baron van der Capellen (1817 - 1826), made a big change - scale. A tower in the middle - the middle of the main building was set so that the more grandiose palaces, while the land around the palace used as an inaugural Botanical Garden took place on May 18, 1817.This building was again seriously damaged, when the earthquake occurred on 10 October 1834.
In the reign of Governor-General Albert van Twist Duijmayer Yacob (1851 - 1856), the remaining old buildings quake demolished altogether. Then by taking the IX century European architecture, new buildings one level established. Other changes are to add two bridges connecting Main Building and Building Right wing and Left-wing made of curved wood. Building a new palace at the time realized the full power of the Governor-General Charles Ferdinand Pahud de Montager (1856-1861). And in government, then precisely in 1870, Buitenzorg Palace designated as the official residence of the Governor-General of the Netherlands.
End of World War II, Japan surrendered to Allied forces, and Indonesia declared its independence. Security Barisan Rakyat (BKR) had occupied the Buitenzorg Palace to fly the flag red and white. Buitenzourg whose name Palace is now the Presidential Palace in Bogor handed back to the government of this republic at the end of 1949.After the independence, Bogor Presidential Palace began to be used by the Indonesian government in January 1950.
Bibliography and Art Objects
Bogor Presidential Palace has a collection of books that list as many as 3205 pieces available in the literature palace. Palace holds many objects of art, whether in the form of paintings, sculpture, and ceramics and other art objects. Until now there are paintings in this palace is 448 pieces, where the title / name of the painting, artist, year painted, available in the form of list making it easier for anyone who wishes to obtain information about the painting. Similarly, a statue with a variety of raw materials. In the palace there are statues of 216 pieces.
In addition to painting and sculpture, ceramics Bogor Palace also collected 196 units.All were kept in the palace museum, in addition to serving as publisher in every room / building the palace.

4. Istana Cipanas
The word comes from the Sundanese Cipanas; ci or suey means water, and heat that is hot in the Indonesian language. The word is the name of a village, the village of Cipanas because in this place there are hot springs that contain sulfur.
Cipanas Presidential Palace originated from a building which was founded in 1740 by a private owner, a Dutch landowner named Van Heots. However, during the reign of the Dutch East Indies, to be exact starting administration of Governor-General GW Baron van Imhoff (1743), because the appeal of the hot springs, built a medical building around these hot springs. Then, because of the cool mountain air charisma and natural, clean and fresh, the building was used as a resting place for the Governor-General of the Netherlands.
Since its establishment in the reign of the Netherlands, the Presidential Palace Cipanas functioned as a resort and transit. However, a very beautiful natural surroundings are the main attraction for the visitors, so that in the reign of the van Imhoff, rest stops / rest time to switch functions. Because the power of hot springs that contain sulfur and because of the cool mountain air and clean, the building was once used as a treatment for military members of the Company who required treatment.
Commissioner-General Leonard du Bus de Pietr Josef Gisignies, for example, noted that most pleased that sulfur water bath. Similarly Sirardus Carel Willem Graaf van Hogendorp, secretary (1820-1841). Also Daendeles Herman Willem (1808-1811) and Thomas Stanford Raffles (1811-1816) during his official place several hundred people in that place; some basar of their work in apple orchards and flower gardens as well as in rice mills, in addition to the care of cattle, sheep - sheep, and horses.
Physically, since its establishment until now, the travel history Cipanas Palace changed much. Gradually, from year to year, the palace is growing and growing. Starting from 1916, still in the reign of the Dutch East Indies, three buildings stand in this palace complex. Now all three are known by the name of Yudhishthira Pavilion, Pavilion Bima, Arjuna and Pavilion.
Nine years later, in 1954 the term of office the first Indonesian President, Sukarno, established a small building, located next to the back of the Main Building. Different from other buildings, round the outer walls and front and side yard building is decorated with stone-shaped bumps. By taking the form of wall decoration and pelatarannya reason, the name of this building a unique sound, which bumps Building. (Bumps from the language of Sunda; equivalent small bump in the Indonesian language as well, like a mosquito bite.)
Twenty-nine years later, in 1983, during the second President of the Republic of Indonesia, Suharto, two others followed standing pavilions, namely Pavilion Pavilion Nakul and Sahadev.
Presidential Palace Cipans also once functioned as a family residence by a family of Governor-General of the Netherlands. Ever to inhabit the building was the family Andrew Cornelis de Graaf (which his reign 1926 -1931), Cornelius Bonifacius de Jonge (1931), and the latter, which together with the arrival of the Japanese occupation (1942), is Tjarda van Starkenborg Stachourwer.
After the independence of Indonesia, officially the building is designated as one of the Presidential Palace of the Republic of Indonesia and its function still be used as the resting place of President or Vice President of the Republic of Indonesia and their families.
Cipanas Presidential Palace is also recorded important events in the history of the bow line of the Indonesian economy, namely that on December 13, 1965, Dining Room Main Building, once functioned as a place to convene the cabinet in order to determining changes in the value of money from 1,000 in 2000 to Rp1, 00 , precisely at the time of President Sukarno and the Indonesian Republic at the time of the Minister of Finance chaired by Frans Seda.
In accordance with the function of Cipanas Presidential Palace, not used to receiving guests. However, in 1971, Queen Juliana also took the time to stop at this palace during his visit to Indonesia.

5. Gedung Agung Yogyakarta
Yogyakarta presidential palace was originally the official residence of the resident to-18 in Yogyakarta (1823-1825). He was a Dutchman named Anthonie Hendriks Smissaert, which also is the initiator or the initiator of the construction of this Great House. This building was established in May 1824 in the Dutch colonial period. It originated from the desire of the "palace" is authoritative for the resident-resident Dutch. Architect named A. Payen, he was appointed by the Governor-General of the Dutch East Indies at that time. The style of the building following the European architecture adapted to tropical climate.
Diponogero War (1825-1830), which the Dutch called Java War, resulted in the construction of the building was delayed. Disaster / earthquake occurs twice on the same day, causing the official residence of the Dutch resident collapsed. But the new building was established and completed in 1869. The building is at the Main BuildingComplex of the Presidential Palace of Yogyakarta, which is now called the State House
History also records that on 19 December 1927, the administrative status of the territoryof Yogyakarta as a residency increased to the province. Supreme ruler of the Netherlands is no longer resident, but the governor. Thus, the main building was completed in 1869 it became the residence of the governor of the Dutch in Yogyakarta and the entry of Japanese occupation. Some of the Dutch Governor who inhabit the building is Jasper JE (1926-1927), PRW van Gesseler Verschuur (1929-1932), HM deKock (1932-1935), J. Bijlevel (1935-1940), and L Adam (1940-1942). During theJapanese occupation, the palace became the official residence of the ruler of Japan inYogyakarta, namely Koochi Zimmukyoku Tyookan
History of the Great House is a very important and very meaningful when the governmentof the Republic of Indonesia moved from Jakarta to Yogyakarta. On January 6, 1946,Yogyakarta, who earned the nickname City of Gudeg it officially became the new capitalof the Republic of Indonesia which is still young, and the palace that was turned into the Presidential Palace as the residence of President Soekarno, the first Indonesian President, and his family. While Vice President Mohammad Hatta and family when itlived in the building currently occupied Korem 072 / Pamungkas, which is not far fromthe palace complex.
Since then, the history of the palace (mainly the function and role) change. InauguralGreat Commander General Sudirman as the TNI (on June 3, 1947), followed by theinauguration as head of shoot the Indonesian Armed Forces (on July 3, 1947), and fiveCabinet Rebulik the young man was formed and inaugurated in the Palace as well.
On Sunday 19 December 1948, Yogyakarta, battered by the Dutch army under theleadership of General Spoor. Event known as the Military Aggression II that resulted inthe President, Vice President, Prime Minister, along with several other princes were exiled to the outer island of Java, precisely to Brastagi and Bangka, and only returned toYogyakarta on July 6, 1949. Starting that date, the court again serve as the officialresidence of the President. However, since December 28, 1949, namely the migration of the President to Jakarta, this palace is no longer a residence of the President.
A historical event that can not be ignored is the function of the Great House was originally the founding of the Republic of Indonesia (June 3, 1947). At that time the Great House serves as a place of inauguration of General Sudirman, as the Commander ofthe Indonesian National Army (TNI). In addition, for three years (1946-1949), this building serves as the official residence of the first Indonesian President.
After the independence of Indonesia, precisely on the term of office of President II RI,from April 17, 1988, the Presidential Palace in Yogyakarta / Great House is also usedfor organizing the ceremony Midshipman Air-New Academy cadets, and at the sameevent Farewell The young officer who graduated with the Governor and the NewYogyakarta community. In fact, since August 17, 1991, officially the Presidential Palacein Yogyakarta / Great House is used as a place to commemorate Detik-DetikProclamation for the Special Region of Yogyakarta.
In line with its function is now, more than 65 heads of state and head of government andstate guests, has been visiting or staying at the Great House. Guest's first state visit tothe building is the President of India Rajendra Prasad (1958). In the sixties, KingBhumibol of Thailand Adulyajed (1960) and President Ayub Khan of Pakistan (1960) to visit and spend the night in this building. A year later (1961), the guest country is the Prime Minister of Algeria Ferhart Abbas. In the seventies, the visit is President D.Macapagal of the Philippines (1971), Queen Elizabeth II of England (1974), as well asPrime Minister Srimavo Bandaranaike of Sri Lanka (1976).
Then, in the eighties, the state guest was the Prime Minister of Singapore Lee KuanYeuw (1980), his lordship Sultan Bolkiah of Brunei Darussalam (1984). Other important guests who never rest in the Great House, among others, Princess Sirindhom fromMuanghthai (1984), Ny. Marlin Quayle, wife of Vice President of the United States(1984), President F. Mitterand of France (1988), Prince Charles with Princess Diana ofEngland (1989), and head of the Catholic Church Pope John Paul II (1989).
In the nineties, the great guests who visit the Great House is his lordship SupremeSultan Azlan Shah of Malaysia (1990), Emperor Akihito of Japan (1991), and PrincessBasma of Jordan (1996).

6. Istana Tampak Siring
Tampaksiring name derives from two words in Bali, which is visible (which means'palm') and siring (which means 'oblique'). According to a legend recorded on palm leaves USANA Bali, the name is derived from the former sole of the foot of a kingnamed Mayadenawa. King is clever and powerful, but it is insolence. He consideredhimself god and ordered his subjects to worship him. As a result of the dispositionMayadenawa it, Batara Indra angry and send his hosts to menghacurkannya. However,Mayadenawa ran into the forest. For his pursuers lost track, he walked by tilting thesoles of his feet. By doing so he hopes that his pursuers do not recognize that the trailhe left behind traces of it are men, the trail Mayadenawa.
Mayadenawa effort failed. Eventually he was captured by his pursuers. However, before that, with the remnants of its miracle he managed to create a toxic spring caused manydeaths for his pursuers after they drank water from springs ciptannya it. Batara Indraalso create other springs as the antidote to the poisoned water. Water bidder was giventhe name Tirta poison Empul (which means 'airsuci'). Forests that passed the KingMayadenawa denagn walking on his leg which was tilted region known as theTampaksiring.
According to history, in one corner of the region Tampaksiring Palace, overlooking the pool Tirta Empul at the foot of the hill, there had been resting buildings owned by the Kingdom of Gianyar. On top of land that is now standing Wisma Merdeka, which is partof the Tampaksiring Palace was first built.
Tampaksiring Presidential Palace stood on the initiative of the first Indonesian President, Sukarno, so it can be said Tampaksiring Presidential Palace is the onlypalace built during the reign of Indonesia.
Construction of the palace began taun 1957 until 1960. However, in order to meetactivity Summit (Summit) XIV ASEAN (ASEAN Summit XIV) held on 7-8 October 2003,Palace Tampaksiring adding the following new building facilities - amenities, namely the building to the Conference and for the reception. In addition, the court also renovateWantilan Hall as the building arts performances.
Tampaksiring Presidential Palace was built in stages. The architect is R.MSoedarsono. The first to be built is the Wisma Merdeka and Wisma Yudhishthira,namely in 1957. The next development carried out in 1958, and all the buildingscompleted in 1963. Furthermore, for the sake of Summit (Summit) ASEAN XIV, held inBali on 7-8 October 2003, the Palace was built a new building for the Conference and its facilities and renovate the Hall Wantilan. Now Tampaksiring also provide comfort to the visitors (in the context of tourism) to build its own entrance which is equipped withBentar Temple, Koro the Great, and Parking Lot Hall Bengong.
Since the designed / planned, the construction of the Presidential Palace Tampaksiringfunctioned for a retreat for the President of the Republic of Indonesia and their familiesand for state guests. After the construction of this palace, the first visit and overnight stayat the palace is pemrakarsanya, namely President Sukarno. State Guest bertama stay at this palace of King Bhumibol Adulyadej is from Thailand, who visited Indonesia with the queen, Queen Sirikit (in 1957).
According to records, state guests who visited the Presidential Palace Tampaksiring,among others, is the President Ne Win of Burma (now Myanmar), President Tito ofYugoslavia, President Ho Chi Minh of Vietnam, Prime Minister Nehru of India, PrimeMinister Khruchev of Soviet Union, Queen Juliana of the Netherlands, and the Emperorof Japan Hirihito
Hopefully earlier information could be useful for you. My message is one of the RedJackets (do not ever forget history) Bung Karno said


Tetap follow kami 0n twitter @infobermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar